KisahIslam.COM -
Rombongan kendaraan melaju mempercepat langkah dari Yatsrib ke Mekah
karena didorong oleh rasa kerinduan kepada seseorang yang dicintai.
Mereka sudah berjanji kepada Rasulullah untuk bertemu. Setiap orang yang
berada di rombongan itu sangat rindu dengan suatu waktu pada saat akan
merasakan kebahagiaan bertemu dengan Nabi Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wasallam dan
meletakkan tangan di atas tangan beliau dengan membaiatnya untuk selalu
mendengarkan perintahnya dan taat, serta berjanji untuk saling
menguatkan dan menolong.
Kemudian Malik meninggalkannya dan pergi hingga esok pagi ia muncul mendahului para tentara. Kemudian Malik menoleh kepadanya dan memanggilnya dengan suara keras, “Wahai Abu Abdullah, kenapa engkau tidak menunggangi keledaimu, padahal itu milikmu.”
Di antara rombongan itu, ada orang tua, salah seorang
pemuka kaum, membonceng anak laki-laki satu-satunya yang masih kecil di
belakangnya. Ia meninggalkan sembilan anak perempuan di Yatsrib karena
ia tidak memiliki anak laki-laki yang kecil selainnya. Orang tua itu
sangat ingin anaknya bisa menyaksikan baiat dan tidak kehilangan hari
agung yang dianugerahkan itu. Orang tua itu bernama Abdullah ibnu Amr
al-Khazraji al-Anshari. Anaknya bernama Jabir ibnu Abdullah al-Anshari.
Keimanan bersinar di hati Jabir ibnu Abdullah,
sedangkan ia masih kecil dan segar. Keimanan pun menyinari setiap
sendinya. Islam menyentuh jiwanya yang halus seperti tetesan-tetesan
hujan menyentuh kelopak bunga. Tetesan-tetesan itu pun membukanya dan
memenuhinya dengan semerbak wangi-wangian. Hubungan Jabir dan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam menjadi kuat sejak mudanya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
yang mulia datang berhijrah ke Madinah, anak kecil yang mukmin ini
berguru kepada Nabi pembawa petunjuk dan rahmat. Ia pun menjadi
sebagian orang utama yang diluluskan oleh pendidikan Muhammad menjadi
penghafal Kitab Allah untuk kepentingan manusia dan menjadi periwayat
hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kita
mengetahui bahwa Musnad Jabir ibnu Abdullah terkumpul di antara kedua
sisinya sebanyak 1.540 hadits. Dihafallah semua hadits itu oleh seorang
murid yang pandai dan meriwayatkannya dari Nabi kaum muslimin yang
agung. Imam Bukhari dan Imam Muslim menetapkan dalam dua kitab shahihnya
lebih dari 200 hadits dari hadits-haditsnya. Ia menjadi sumber
penyiaran dan petunjuk bagi kaum muslimin sepanjang waktu. Allah pun
memanjangkan kehidupannya sehingga umurnya sampai satu abad.
Jabir ibnu Abdullah tidak mengikuti Perang Badar dan Perang Uhud bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
karena di satu sisi ia masih kecil dan di sisi lain ayahnya
memerintahkannya untuk tinggal bersama sembilan saudara perempuannya.
Hal itu terjadi karena tidak ada seorang pun selainnya yang menjaga
urusan mereka.
Jabir menceritakan, “Ketika pada suatu malam menjelang Perang Uhud,
ayah memanggilku dan berkata, ‘Sungguh aku tidak melihat diriku, kecuali
terbunuh bersama sahabat-sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan
sesungguhnya, demi Allah, aku memiliki utang kepada seseorang. Kau
lunasilah utangku, sayangilah saudara-saudara perempuanmu, dan
berikanlah wasiat kebaikan kepada mereka.”
Ketika waktu sudah pagi, ayahku menjadi orang pertama
yang terbunuh di Perang Uhud. Ketika ingin menguburkannya, aku
mendatangi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan
berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah membebankan utangnya kepadaku.
Dan aku tidak memiliki sesuatu pun untuk melunasinya, kecuali apa yang
dapat dipetik dari pohon kormanya. Kalau aku mengandalkan pohon itu
untuk melunasi utangnya, maka aku akan melunasinya selama beberapa
tahun, sedangkan saudara-saudara perempuanku tidak memiliki harta untuk
dinafkahkan kecuali dari pohon itu.”
Rasulullah berdiri dan pergi bersamaku ke tempat penyimpanan korma kami. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku, “Panggillah orang-orang yang berpiutang kepada ayahmu.”
Maka aku pun memanggil mereka. Beliau masih saja
menakar hingga Allah melunasi utang ayahku dengan korma. Aku melihatnya
seperti sediakala, seakan-akan tidak berkurang satu biji korma pun.
Sejak ayahnya meninggal, Jabir tidak pernah absen dari satu peperangan pun bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
Di setiap peperangan, ia mengalami sebuah peristiwa yang diriwayatkan
dan dijaga. Kita tinggalkan pembicaraan tentangnya. Ia sendiri yang
menceritakan salah satu peristiwa bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
Jabir berkata, “Pada hari persiapan Perang Khandaq,
kami menggali. Lalu batu besar yang keras menghalangi kami, sehingga
kami pun tidak mampu untuk memecahkannya. Kami datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
dan berkata, ‘Wahai Nabi Allah, jalan kami terhalang dengan batu besar
yang keras. Cangkul-cangkul kami tidak dapat berbuat apa pun
terhadapnya.’ Maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata, ‘Tinggalkan batu itu, aku akan turun ke batu itu.’ Kemudian
beliau berdiri sedangkan perutnya diganjal dengan batu karena sangat
lapar. Hal itu terjadi karena kami tidak makan selama tiga hari. Maka
beliau mengambil cangkul dan memukul batu itu. Maka batu itu pun menjadi
pasir secara perlahan-lahan.”
Ketika itu, keinginanku untuk menolong rasa lapar yang menimpa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bertambah. Maka aku pun menghadapnya dan berkata, “Apakah kau izinkan aku pergi ke rumahku wahai Rasulullah?”
Beliau berkata, “Pergilah.”
Ketika sampai di rumah, aku berkata kepada istriku,
“Aku lihat baginda Rasulullah merasakan rasa lapar yang amat sangat.
Tidak ada seorang pun manusia yang dapat menahannya. Apakah kau
mempunyai sesuatu?”
Dia berkata, “Aku punya sedikit biji gandum dan kambing kecil.”
Aku berdiri menuju kambing itu lalu menyembelihnya
dan memotong-motongnya. Setelah itu, aku letakkan di kuali. Aku juga
mengambil biji gandum dan menggilingnya. Lalu aku serahkan kepada
istriku. Ia pun memasaknya. Ketika aku tahu daging itu hampir matang,
dan adonan sudah lembut dan hampir matang, aku pergi menuju Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..
Aku katakan kepadanya, “Kami sudah membuat sedikit makanan untukmu
wahai Nabi Allah. Makanlah beserta satu orang atau dua orang yang kau
ajak makan bersamamu.”
Beliau bertanya, “Berapa banyak makannya?”
Aku pun menyebutkan banyaknya. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
tahu ukuran makan itu, beliau berkata, “Wahai para pembuat parit, Jabir
telah membuat makanan untuk kalian. Kemarilah kita menuju rumahnya.”
Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata,
“Pergilah ke istrimu dan katakan kepadanya, ‘Jangan kau turunkan kualimu
dan jangan kau buat roti adonanmu sampai aku datang.’”
Aku pun pergi ke rumah. Aku merasa gundah dan malu.
Tidak ada yang tahu keadaanku ini kecuali Allah. Aku pun berkata,
“Apakah penduduk Khandaq akan datang kepada kita dengan hanya disuguhi
satu sha gandum dan satu kambing kecil?”
Aku pun menemui istriku dan berkata, “Celakalah engkau, ketahuan keadaanku yang sebenarnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam akan datang bersama semua pembuat parit ke rumah kita.”
Ia pun berkata, “Apakah beliau berkata, ‘Berapa banyak makananmu?’”
Aku jawab, “Ya.”
Ia berkata, hilangkanlah kegundahanmu dari dirimu, Allah dan Rasul-Nyalah lebih tahu. Hilanglah kesedihanku dengan perkataannya itu.
Ia berkata, hilangkanlah kegundahanmu dari dirimu, Allah dan Rasul-Nyalah lebih tahu. Hilanglah kesedihanku dengan perkataannya itu.
Makanan itu hanya sedikit hingga Rasulullah tiba.
Bersama beliau, ada orang-orang Anshar dan Muhajirin. Beliau berkata,
“Masuklah dan jangan berdesak-desakan.”
Kemudian beliau berkata kepada istriku, “Datangkan
seorang pembuat roti untuk membuat roti bersamamu. Duduklah menunggui
kualimu dan jangan menurunkannya dari tempat apinya.”
Kemudian ia pun mulai memperbanyak roti, mengisinya
dengan daging, dan mendekatkannya kepada para sahabat beliau, sedangkan
mereka menyantap makanan hingga semuanya kenyang. Kemudian Jabir
menyusul sambil berkata, “Aku bersumpah kepada Allah, bahwa mereka
ramai-ramai memakan makanan itu, sedangkan periuk kami mendidih dengan
penuh seperti sediakala dan adonan kami bisa dibuat kue seperti
sediakala. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada istriku, “Makanlah dan bagikanlah.”
Ia pun makan dan mulai menghadiahkannya sepanjang
hari itu. Karena itulah, Jabir ibnu Abdillah al-Anshari telah menjadi
sumber penyiaran dan petunjuk bagi umat muslim dalam tempo yang lama.
Allah telah memanjangkan umurnya hingga hampir satu abad.
Di suatu tahun, ia keluar menuju Kerajaan Romawi
untuk jihad fi sabilillah. Pasukan itu dipimpin oleh Malik ibnu Abdillah
al-Khatsami. Malik berkeliling-keliling dengan tentaranya. Mereka
berangkat untuk mengetahui situasi mereka dan memperkuat kekuatan
mereka, serta berbuat baik kepada para pembesarnya dengan kekuatan yang
mereka miliki.
Malik kemudian bertemu dengan Jabir ibnu Abdillah
yang sedang berjalan kaki, padahal ia sedang membawa keledainya yang
diikat dengan tali kekangnya dan dituntun olehnya. Maka Malik berkata,
“Ada apa denganmu, wahai Abu Abdullah? Kenapa kau tidak menungganginya?
Padahal Allah memberikan kemudahan kepadamu dengan punggungnya yang
dapat membawamu.”
Maka ia pun berkata, “Aku dengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu dalam mengerjakan perintah
Allah, maka Allah akan mengharamkannya masuk neraka.’”
Kemudian Malik meninggalkannya dan pergi hingga esok pagi ia muncul mendahului para tentara. Kemudian Malik menoleh kepadanya dan memanggilnya dengan suara keras, “Wahai Abu Abdullah, kenapa engkau tidak menunggangi keledaimu, padahal itu milikmu.”
Jabir pun mengetahui maksudnya dan menjawabnya dengan suara yang keras, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu dalam melaksanakan perintah
Allah, maka Allah mengharamkannya masuk neraka.’”
Orang-orang pun melompat dari binatang tunggangannya.
Mereka semua mendapatkan ganjaran ini. Tidak ada pasukan yang pejalan kakinya lebih banyak dari pasukan itu.
Beruntunglah Jabir ibnu Abdillah al-Anshari. Ia telah membaiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, sedangkan ia masih kecil, belum balig, berguru kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sejak kuku-kukunya masih halus, meriwayatkan hadits-hadits yang dinukil oleh para perawi hadits, berjihad bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam padahal ia seorang pemuda dan menebarkan debu ke kakinya di jalan Allah padahal ia sudah tua.
Sumber: Shuwar min Hayaati ash-Shahaabah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar